Lima puluh tahun yang lalu, pada tahun 1968, Robert McNamara memilih Indonesia untuk sebagai Presiden Grup Bank Dunia. Ini adalah sinyal kuat akan ketertarikan special terhadap negara itu, yang terlihat dari awal masa jabatannya. Hal ini juga menandai awal dari hubungan yang lebih erat antara Indonesia dan Bank Dunia. Selama kunjungannya, McNamara berusaha mempelajari bagaimana Grup Bank Dunia dapat membantu Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. McNamara segera menggelar diskusi membahas , yang terrealisasi satu tahun kemudian.
Beberapa bulan setelah kunjungannya, pendanaan untuk proyek Grup Bank Dunia pertama di Indonesia disetujui, yaitu Ini menandai awal dari upaya besar di sektor pertanian Indonesia, yaitu memberikan dukungan di berbagai bidang, mulai dari irigasi dan produksi pupuk hingga pengembangan pertanian dan kelapa sawit. Segera setelah itu, berbagai proyek di sektor lain disepakati, termasuk transportasi, listrik, telekomunikasi, dan pendidikan. Ketika isu-isu baru muncul di kemudian hari, Bank Dunia dan Indonesia bekerja bersama untuk mengatasinya.
Pada tahun 1970-an terlihat perkembangan sektor pariwisata Indonesia. Bank Dunia juga terlibat dalam hal tersebut, menyediakan dana untuk , termasuk infrastruktur untuk kawasan pariwisata baru di Nusa Dua, Pulau Bali, juga akses jalan ke perkebunan dan fasilitas pelatihan untuk staf hotel. Hal ini membantu menarik investor swasta ke daerah tersebut, sekaligus mempertahankan kehidupan sosial dan budaya Bali yang khas.
Pada tahun1980-an, ketika keprihatinan lingkungan di seluruh dunia menjadi isu santer, Laporan dirilis. Ini adalah laporan Bank Dunia pertama yang fokus pada lingkungan dalam konteks upaya pembangunan Indonesia. Laporan tersebut merekomendasikan agar praktik-praktik yang tidak berkelanjutan diidentifikasi sejak awal dan menekankan bahwa sumber daya seperti hutan, tanah, dan air memiliki fungsi ekologi yang penting yang tidak mudah diukur dalam istilah ekonomi.
Dua puluh tahun yang lalu, pada tahun 1998, proyek disetujui. Proyek ini memberikan hibah kepada desa-desa berdasarkan proposal yang dipilih melalui dewan kecamatan, atau kecamatan, dari beberapa kepala desa. Selain membangun dan meningkatkan infrastruktur publik, proyek ini memperkuat institusi kecamatan dan pemerintah desa, sekaligus meningkatkan pendapatan pedesaan. Proyek awal diujicobakan di 25 desa.
Dalam waktu sembilan tahun, proyek tersebut diganti namanya menjadi Program Nasional untuk Pemberdayaan Masyarakat, yang diperluas ke semua masyarakat pedesaan. Lalu bersama dengan program sister urban-nya (program Kemiskinan Perkotaan), menjadi program pengentasan kemiskinan pemerintah nasional yang menjadi salah satu program pengembangan masyarakat terbesar di dunia. Program ini menjangkau lebih dari 70.000 desa dan lingkungan perkotaan serta membangun lebih dari 31.000 jalan, 8.000 jembatan, 9.000 unit pasokan air bersih, 9.000 sistem irigasi, 3.000 pos kesehatan baru maupun pengembangan, dan 5.000 sekolah baru maupun perbaikan.
Hanya beberapa hari setelah gempa bumi dahsyat dan yang melanda Asia Tenggara pada 26 Desember 2004, Bank Dunia menyediakan dana untuk mengatasi krisis. Bank Dunia tetap menjadi mitra dekat dalam bulan-bulan dan tahun-tahun selanjutnya, membantu masyarakat yang terkena dampak dengan menyediakan pendanaan dan bekerja sama dengan organisasi multilateral lainnya untuk membangun kembali Aceh.